Kreatif! Olahan Sidat Jadi Solusi Bangkit dari Pandemi

0
446
views

Cilacap – Dampak besar pandemi membuat pembudidaya sidat di Cilacap Jawa Tengah menjadi lebih kreatif. Disaat potensi ekspor ke negeri Sakura terhenti, pasar lokal ke salah satu restoran masakan Jepang ternama di Indonesia menjadi pasar penjualan.

Varian olahan sidat seperti kabayaki dan shirayaki jadi pilihan untuk disalurkan. Diolah secara higienis, sidat dibelah, dibersihkan, dipanggang lalu dibumbui dengan saus, disebut varian kabayaki dan dihargai Rp380.000/kg. Sementara yang tidak menggunakan saus, dikenal sebagai shirayaki, harganya Rp350.000/kg.

Cukup berbeda saat memenuhi permintaan dari Jepang. Kebutuhan atas sidat utuh saat itu dihargai sekitar Rp200.000/kg. Meski dihargai lebih murah dari bentuk olahan, namun nyatanya lebih menguntungkan. Hal ini disebabkan ikan tidak perlu diolah sehingga biaya operasional lebih hemat.

Harapan dapat memenuhi kembali potensi ekspor disampaikan Ruddy Sutomo, Manajer Koperasi Mina Sidat Bersatu. “Penawaran kerjasama sudah mulai datang, namun terkendala minimal 10 ton/bulan untuk kontrak satu tahun,” katanya.

Guna memenuhi kuota yang diminta tersebut, pembudidaya sidat membutuhkan benih (glass eel) yang tidak sedikit. Sayangnya ketersediaannya belum mencukupi karena harus mengambil di alam sedangkan nelayan pencari benih belum banyak yang aktif kembali semenjak pandemi.

Namun, tidak semua lokasi diperbolehkan menangkap benih sidat untuk menjaga keberlanjutannya. Terdapat 10 wilayah larangan yang telah ditetapkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), yaitu Kabupaten Kutai Kartanegara, Kota Samarinda, Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Aceh Jaya, Kabupaten Bengkulu Selatan, Kabupaten Pangandaran, Kabupaten Ciamis, Kabupaten Cilacap, Kabupaten Parigi Moutong, dan Kabupaten Poso.

Pelarangan itu akan dituangkan dalam regulasi KKP sebagai kerangka implementasi Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 118 Tahun 2021 tentang Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP) Sidat.

Tantangan lain, pencari benih sidat diharuskan memenuhi syarat ketertelusuran di mana lokasi pengambilannya harus jelas dan memiliki bersertifikasi Marine Stewardship Council (MSC). MSC menjamin perikanan tangkap yang berkelanjutan dengan memperhatikan tiga hal, yaitu stok ikan, dampak lingkungan dari penangkapan ikan, dan sistim pengelolaan yang efektif.

Sementara pembudidaya didorong bersertifikasi Aquaculture Stewardship Council (ASC) yang merupakan label bahwa produk memperhatikan aspek lingkungan dan sosial yang baik. Dengan demikian posisi tawar hasil budidaya perikanan Indonesia semakin tinggi dan menarik minat pasar luar negeri.

Tingginya permintaan sidat yang masuk, menyulut semangat koperasi untuk meningkatkan produksinya. Seperti yang disampaikan Sunu Aji Nugroho, Penyuluh Perikanan bahwa koperasi telah mendatangkan sekitar 80kg benih dari Sukabumi. “Semua telah masuk ke hatchery dan optimis ekspor bisa dilakukan.”

Besarnya potensi budidaya sidat didukung penuh oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) agar perekonomian masyarakat meningkat. Berbagai fasilitas diberikan mulai dari pelatihan pengembangan usaha, bantuan sarana prasarana, hingga dukungan permodalan melalui Lembaga Pengelola Modal Usaha Kelautan dan Perikanan (LPMUKP) terus digulirkan ke masyarakat kelautan dan perikanan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here