Cirebon – Secara geografis, wilayah pantai utara Cirebon sangat potensial untuk produksi garam. Sayangnya, usaha petambak garam rakyat sebagian besar masih berupa garam krosok. Garam rakyat tersebut hanya dimanfaatkan untuk konsumsi atau pengawet produk perikanan. Harga jualnya yang relatif rendah, belum mampu mengangkat harkat hidup petaninya.
“Saya kasihan mas, garam itu dari petani sangat murah, malah pernah pas tahun 2011 harganya hanya menyentuh Rp200 sampai Rp300 perkilogram. Sedangkan kita tahu proses petani mengolah untuk akhirnya menjadi garam itu tidak mudah,” ungkap Septi Ariyani melalui telepon seluler, Jumat (5/11/2021).
Kondisi umum para petani garam itulah yang menjadi latar belakang Septi terjun ke dunia garam. Ia, yang pada waktu itu masih tercatat sebagai pegawai di Dinas Kelautan dan Perikanan, bertekad ingin memberdayakan para petani garam di Kabupaten Cirebon, khususnya di Desa Grogol, Kecamatan Gunung Djati, tempat lokasi usahanya sekarang.
Bermodal pengalamannya sebagai pendamping program Pengembangan Usaha Garam Rakyat (PUGaR) Kementerian Kelautan dan Perikanan, ia termotivasi untuk memperbaiki nasib petani garam di Cirebon. Alumni Perikanan Universitas Brawijaya Malang ini berupaya mencari jalan inovasi. Hingga suatu ketika, berkat mencoba dan memanfatkan informasi dari internet, ia menemukan inovasi pemanfaatan garam.
Rasa penasarannya semakin kuat saat ia bersama para istri petani garam membuat Bomb Salt, yaitu campuran garam dan gabungan beberapa bahan yang dipadatkan. Disebut bom, karena jika mengenai air reaksinya seperti bom, berbuih dan larut. Semenjak memahami reaksi kimia ini, ia terus searching untuk mengetahui garam bisa dimanfaatkan apa saja lagi. “Ternyata garam itu luar biasa loh, bisa dibuat jadi macem-macem. Salah satunya garam mandi. Di USA sana masyarakatnya sudah bisa buat secara mandiri garam mandi,” kata perempuan 40 tahun ini.
Karya inovasi Septi disambut baik orang-orang sekitar. Banyak testimoni positif yang ia terima diikuti dengan repeat order dari teman-teman yang sudah mencoba produknya. Hal itu semakin membulatkan tekadnya untuk menambahkan nilai ekonomi (value added) dengan kreasi dan mengembangkan produk olahan garamnya.
Pada 2016, Septi memutuskan berhenti dari Dinas Kelautan dan Perikanan. Ia ingin memiliki kelonggaran dan keleluasaan waktu untuk berkreasi dan mengembangkan garam menjadi produk kecantikan dan spa yang kaya akan manfaat kesehatan. Berdirilah Rama Shinta The House of Salt, yang fokus pada pengembangan garam kosmetik kesehatan dan kecantikan.
Septi menyadari yang ia hasilkan merupakan produk kesehatan berhubungan langsung dengan tubuh pemakainya. Perlu menyesuaikan standar dengan ketentuan Badan Pengawas Obat dan Makanan. Dipastikan garam mandi yang ia produksi sudah memenuhi standardisasi BPOM serta tidak mengandung bakteri bahaya serta jamur.
Masa panen garam untuk kosmetik memiliki durasi yang lebih panjang dibanding untuk garam konsumsi biasa. Garam dibuat padat dengan kualitas tinggi, hingga menyisakan kadar air hanya 0,05 – 0,5 persen. Selanjutnya, proses pembuatan garam mandi sama seperti garam konsumsi. Mulai dari tahapan pengendapan, penyaringan, penjemuran, pengeringan awal, sortir, pencampuran, hingga packaging dan siap dipasarkan. Hanya saja, prosesnya harus memperhatikan standar kesehatan dan kebersihan. “Karena garam yang kita produksi peruntukannya buat kosmetik, jadi tempat produksi pun gak bisa sembarangan, harus bersih banget dan mengikuti standar BPOM,” jelasnya.
Pemilik usaha dengan username instagram @ramashintarumah_garam ini telah berhasil mempekerjakan dan memberdayakan 50-an petani garam di Kabupaten Cirebon. Bersama Lembaga Pengelola Modal Usaha Kelautan dan Perikanan (LPMUKP), Septi berkomitmen untuk terus melakukan inovasi mengembangkan usahanya guna menyesuaikan kondisi pasar. “Nasib generasi kita di tangan kita. Semangat buat memanfaatkan banyak peluang, seperti saat ini, dengan adanya social media kita bisa manfaatkan itu. Bahkan, hanya dengan memakai daster, kita bisa jalankan bisnis,” selorohnya.