Bireun – Bandeng dipilih menjadi komoditas unggulan budidaya di Kabupaten Bireun Provinsi Aceh. Beberapa alasan melatarbelakanginya, antara lain bandeng dianggap lebih menjanjikan, teknik budidaya mudah, dan minim risiko. Terlebih luas tambak yang tersedia sangat potensial untuk pengembangannya.
Menurut Fandi Sulasa Penyuluh Perikanan, di era 90-an hingga 2000-an, udang masih banyak digeluti pembudidaya. Sebab waktu itu budidaya udang masih mudah karena minim penyakit, harga jualnya tinggi, dan biaya operasional tidak semahal sekarang. Mengingat budidaya udang membutuhkan pemeliharaan yang intensif dan teknik yang panjang sehingga kenaikan harga sangat mempengaruhi. Selain itu, akibat dulu banyak penggunaan zat kimia untuk mengerek produktivitas, lahan yang ada menjadi tidak maksimal untuk budidaya udang.
Pembudidaya lantas mencari solusi komoditas yang mudah dan murah budidayanya, maka dipilihlah bandeng. Ikan ini dinilai lebih mampu beradaptasi dengan lingkungan dan tahan terhadap serangan penyakit. Bandeng juga bersifat herbivora namun tanggap terhadap pakan buatan. Harga jualnya juga terjangkau sehingga meningkatkan minat beli masyarakat.
Di Bireun, tambak bandeng banyak ditemui di Desa Alue Kuta. “Luas areal budidaya di Desa Alue Kuta totalnya 150,1 ha, sekitar 70% digunakan untuk budidaya bandeng,” kata Fandi.
Tambak budidaya bandeng di Alue Kuta berada dekat dengan pesisir. Pengelolaannya rata-rata menggunakan sistim tradisional atau tanpa kincir air. Dalam satu bulan, produksinya 7-10 ton dengan nilai produksi Rp100-150 juta. Artinya dalam satu tahun bisa mencapai 84-120 ton senilai Rp700 juta sampai Rp1,5 miliyar.
Pakan yang diberikan pun alami, yaitu klekap. Pertumbuhan klekap disiapkan sejak pengolahan tambak untuk budidaya. Mula-mula, lakukan pengeringan tambak. Setelah itu, jika diperlukan menetralkan Ph tanah, maka dapat ditebar kapur dolomit atau hydrat lime. Kapur juga dapat berfungsi sebagai pembakar jasad renik sumber penyakit. Selanjutnya, penebaran pupuk SP36 dan NPK untuk mempercepat pertumbuhan klekap. Barulah kemudian air payau dimasukan.
Uniknya, biasanya pembudidaya di sana memindahkan bandeng ke tambak lain yang telah ditumbuhi klekap tiap 1 bulan sekali. “Ditebar pertama di tambak yang satu, kemudian di tambak yang satunya disiapkan lagi klekap untuk pakan. Jadi kalau dipindah-pindah begitu ikannya agak cepat besar karena ketersediaan pakan alaminya selalu melimpah,” terang Fandi.
Sementara itu pakan pelet diberikan terbatas pada 1 atau 1,5 bulan menjelang masa panen. Cara ini dilakukan untuk menekan pengeluaran karena tingginya harga pakan. Fandi sangat berharap adanya solusi misalnya subsidi pakan agar biaya produksi lebih ekonomis.
Masalah lain, yakni saluran utama air yang harus direhab karena sering pendangkalan. Saluran harus dibuat tanggul penahan ombak yang didesain menjorok ke laut. Hal ini agar jika terjadi pasang, pasir-pasir tidak menumpuk di mulut saluran. Untuk saat ini, air baru bisa masuk kalau ada pasang besar.
Adanya tantangan dalam melakukan budidaya tersebut memerlukan sinergi peran antara pemerintah pusat dan daerah untuk penanganannya. Pembudidaya pun perlu secara aktif melakukan komunikasi ke dinas perikanan setempat maupun memanfaatkan fasilitas Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Salah satu yang disediakan KKP berupa akses permodalan melalui Badan Layanan Umum Lembaga Pengelola Modal Usaha Kelautan dan Perikanan (BLU LPMUKP). Dengan modal yang digulirkan, pembudidaya dapat memenuhi kebutuhan sarana prasarana maupun operasionalnya.