Buton Tengah – Masyarakat kota besar, termasuk Jakarta, tentu tak asing dengan beragam ikan teri kering yang dijual di pasar tradisional maupun supermarket. Ada teri jengki, teri jarum, dan banyak lagi sebutan untuk jenis ikan imut itu. Semuanya gurih dan memiliki cita rasa tersendiri sebagai pelengkap hidangan.
Tapi tahukah Anda, mungkin teri yang ada di pasar hari ini, adalah hasil tangkapan saudara kita di perairan nun jauh di timur Indonesia? Salah satunya adalah hasil tangkapan dari masyarakat Buton Tengah, Sulawesi Tenggara.
Perikanan tangkap memang masih menjadi aktivitas utama masyarakat kelautan dan perikanan di sana. Rata-rata masyarakat Buton menangkap ikan dengan menggunakan bagan. Alat tangkap ini semacam jaring angkat yang dalam pengoperasiannya menggunakan alat bantu cahaya lampu. Bagan biasanya dipakai untuk menangkap ikan-ikan kecil.
Nelayan di Buton Tengah biasanya menangkap berbagai jenis ikan-ikan kecil, mulai dari teri jengki yang ukurannya agak besar, hingga teri super yang halus tapi berharga mahal.
“Keberadaan masing-masing jenis ikan teri ada musimnya tersendiri, seperti misalnya teri super biasanya banyak di Bulan Oktober,” ujar Riki saat dihubungi melalui daring, Selasa (02/11/2021).
Master di bidang Manajemen yang memiliki hobi memancing ini, sejak setahun belakangan, sehari-hari bergaul dengan nelayan setempat. Setidaknya, 29 warga nelayan di Buton Tengah menjadi rekan kerjanya. Ia memainkan peran dalam program berpendampingan bagi debitur yang menerima permodalan dari Lembaga Pengelola Mudal Usaha Kelautan dan Perikanan (LPMUKP).
“Nelayan di sini biasanya mencari ikan rata-rata sejauh lima mil. Selanjutnya ikan hasil tangkapan dijual ke pengolah dengan harga Rp7.000 hingga Rp9.000 perkilo. Khusus teri super harganya bisa mencapai Rp17.000 perkilonya,” kata ayah dua anak ini.
Jelas sekali, dari pernyataannya itu, Riki menekankan nilai ekonomis teri bagi nelayan di sana. Teri kemudian dijual dan diproses oleh pengolah dengan cara direbus untuk kemudian dikeringkan. Beberapa hari proses pengeringan, barulah ikan kering ini dijual, utamanya ke wilayah Pulau Jawa.
Hj Sarsiah, ujar Riki, adalah salah satu pelaku usaha di bidang pengolahan ikan teri di Kelurahan Watolo, Kecamatan Mawasangka Buton Tengah. Perempuan setengah baya itu merupakan debitur yang didampingi Riki. Kisah uniknya, awalnya Hj Sarsiah adalah korban penipuan yang berakibat pada ambruknya usaha.
Sempat kewalahan mencari bantuan, bertemulah Hj Sarsiah dengan Riki yang mengenalkannya dengan bantuan permodalan bunga rendah dari sebuah badan layanan umum (BLU) di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Singkat cerita, pinjaman modal dimanfaatkan untuk bangkit. Ternyata tak sekadar bangkit, usahanya berkembang pesat dengan memiliki cold storage sendiri, sehingga ia tak tergantung musim untuk memenuhi permintaan pasar.
Keberhasilan seorang debitur tentu juga merupakan kebahagiaan bagi Riki. Apalagi, sebagai garda terdepan bantuan permodalan, ia harus mampu meyakinkan masyarakat yang tak jarang ragu akan segala bentuk program. “Saya tekankan ke masyarakat bahwa program yang saya bawa bertujuan untuk memudahkan semuanya, dengan menerapkan prinsip tahapannya yang bersih, serta harus tepat sasaran,” katanya.
Tak hanya perkara meyakinkan, Riki juga harus dihadapkan pada tantangan untuk mendampingi secara intensif agar sistem pencatatan keuangan para nelayan rapi. Belum lagi diperlukannya ketekunan untuk berbagi ilmu dalam strategi bisnis. “Yang terpenting tekuni usahanya dulu, jangan pingin untung cepat, jangan loncat-loncat, ketahui akses pasar dan manajemen harus oke dulu, baru bisa ekspansi ke usaha lain,” pesannya selalu kepada para debitur.