Hampir semua sektor usaha terpapar Covid-19, termasuk Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Ahmadi, yang merupakan salah satu pelaku usaha Surimi di Kabupaten Nunukan Kalimantan melakukan berbagai strategi untuk bertahan dalam kondisi pandemi Covid-19.
Meskipun usahanya ditengah pandemi Covid-19 mengalami penurunan sebesar 60 persen, agar dapat membayar gaji enam orang pekerjanya, pihaknya mengurangi produksi dari sebanyak 150 kilogram hingga 200 kilogram.
“Penjualan di masa pandemi turun 60 persen. Pemasukan menurun, gaji karyawan kita imbangi dengan pengurangan produksi dari 150-200 dikurangi 50 persen,” ujarnya saat berbincang-bincang dengan RRI beberapa waktu lalu.
Ahmadi mengungkapkan, usaha bahan baku pengolahan ikan seperti surimi ternyata dapat membantu perekonomian masyarakat di perbatasan. Hal tersebut dirasakan oleh Ahmadi yang sukses melakoni bisnisnya selama hampir 11 tahun. Surimi sendiri merupakan ikan yang dilembutkan yang dapat dibuat berbagai macam bentuk makanan.
Sedikit bercerita, awalnya Ahmadi merupakan seorang pekerja di perusahaan negeri Jiran, Malaysia. Ia belajar bagaimana cara mengolah ikan menjadi bahan baku setengah jadi yang dapat dijadikan berbagai bentuk makanan seperti abon, tempe, hingga bakso ikan.
Kebetulan, ayah dari dua anak ini tinggal di Kabupaten Nunukan Kalimantan Utara yang merupakan perbatasan dengan Malaysia. Ahmadi memulai usahanya setelah memutuskan untuk berhenti di perusahaan asal Malaysia tersebut sejak tahun 2010 hingga saat ini. Ia melihat peluang pasar yang besar di wilayahnya karena belum ada yang menjual bahan baku ikan tersebut.
“Membuka usaha surimi ini potensi kelautan perikanannya cukup menjanjikan. Melihat dari Malaysia olahan surimi ini mem-booming disana,” ungkapnya.
Ahmadi bercerita, bermodal hanya 4 hingga 5 juta saja dan mesin penggiling seharga Rp 60 juta. Selain itu, Ia juga mendapat bantuan dari Dinas Kelautan dan Perikanan berupa pelatihan-pelatihan untuk pengolahan iklan. Namun, dari modal 4-5 juta tersebut usahanya dapat meraup untung sekitar 30 persen.
“Produksinya cepat, ikan dicuci diambil dagingnya saja. Bisa berbagai jenis ikan, tapi saya ambil ikan tenggiri, tuna, dan bulan-bulan. Pertama daging di filet manual lalu di haluskan pakai mesin,” jelasnya.
Pemilihan jenis ikan seperti tenggiri, tuna, dan bulan-bulan pun dilakukan berdasarkan besarnya permintaan di wilayah tersebut. Harga jual tenggiri paling tinggi yaitu Rp 55 ribu per kilogram, untuk tuna seharga Rp 50 ribu per kilogram, dan bulan-bulan seharga Rp 35 ribu per kilogram.
Sebelumnya, Ahmadi sempat kerjasama dengan perusahaan tempat Ia bekerja dulu yaitu Malaysia, namun sejak 2017 seiring dengan perubahan strategi bisnis perusahan tersebut dirinya hanya menjual di wilayahnya saja yaitu Kabupaten Nunukan. “Kita untuk produksi Nunukan per sekali produksi 150-200 kilo. Kebanyakan pembeli ibu rumah tangga,” imbuhnya.
Ahmadi mengungkapkan, jika ada masyarakat yang berminat untuk mencoba usaha ini yaitu kualitas jenis ikan harus segar, dan mengutamakan kenyamanan konsumen. Dirinya sendiri pun melakukan strategi jemput bola dan mengantar langsung ke konsumen.
“Alhamdulilah selama ini ngga ada kendala bahan baku. Kendala seperti bahan baku kurang yang minta banyak atau sebaliknya. Solusinya cari teman dan rekanan,” pungkasnya.