Kota Depok – Memiliki tubuh kecil dan aneka warna yang cantik, ikan tetra memperindah tiap sisi akuarium. Keindahannya yang mencolok, membuatnya diminati pehobi ikan hias baik dari dalam maupun luar negeri. Hal ini menjadi peluang usaha dengan potensi tinggi, seperti digeluti para pembudidaya di wilayah Curug, Bojongsari, Depok, Jawa Barat.
Ada tiga jenis tetra yang menjadi fokus pembudidaya di Curug, yakni neon tetra, red nose, dan cardinal tetra. Ketiganya merupakan komoditas ekspor ke berbagai negara diantaranya Thailand, Cina, India, Amerika Serikat, Eropa, dan Australia.
Untuk bisa ekspor ke berbagai negara tersebut, pembudidaya bermitra dengan pengepul atau broker. Mereka belum melakukan ekspor sendiri karena menurut Diki Nugraha penyuluh perikanan, pembudidaya masih terbatas pengetahuan terkait ekspor dan kebutuhan modalnya pun besar.
Dari pengepul sendiri, tidak ada kriteria spesifik yang diminta agar tetra layak diekspor. Terpenting ikan dalam kondisi sehat dan baik dengan ukuran sesuai permintaan. Biasanya ukuran yang diminta 2-2,5 cm dengan harga beli pengepul ke pembudidaya berkisar Rp600-1.000 per ekor untuk neon dan red nose. Sementara cardinal dengan ukuran yang sama harganya cenderung lebih mahal, hingga Rp1.200 per ekor karena tubuhnya terlihat lebih mengkilap dan panjang.
Sebagai upaya menjaga kualitas ikan tetra yang dibudidayakan, para pembudidaya memberikan pakan alami dan rutin melakukan perawatan. Terdapat tiga pakan untuk konsumsi tetra, yaitu artemia, cacing sutera, dan kutu air. Pakan tersebut bisa dibeli secara online maupun offline ke penjual pakan ikan hias. Artemia dibeli per kaleng dengan harga sekitar Rp1 juta, cacing sutera per kilogram Rp50.000, dan kutu air diperoleh dari rawa-rawa di sekitar lokasi budidaya atau membelinya dengan harga per gayung Rp50.000-75.000.
Di samping pakan, perawatan untuk menjaga daya tahan tubuh ikan dilakukan dengan menggunakan daun ketapang yang berfungsi sebagai antibiotik. Biasanya dalam satu akuarium dimasukan sekitar 5 daun ketapang kering yang dibiarkan terendam membuat warna air berubah coklat kemerahan. Setelah dua hari, air akan dikurangi kemudian ditambahkan yang baru agar kotorannya keluar sehingga kesehatan ikan terjaga.
“Kalau ikannya banyak penyakit, banyak mengandung residu bahan kimia yang berbahaya gak boleh ekspor, jadi bener-bener alami,” ujar Moon Rahmatiya Nihe Koordinator Penyuluh Perikanan.
Budidaya ikan hias tetra benar-benar menguntungkan alhasil menjadi mata pencaharian utama masyarakat, bukan sekadar sampingan ataupun hobi. Usaha budidaya tetra ini juga telah berlangsung secara turun temurun. Diakui Moon, pembudidaya di sana berhasil memiliki mobil, rumah yang besar, dan kehidupan yang mapan berkat usaha budidaya tetra.
Namun, untuk menjalankan budidaya kebutuhan seperti pakan, bibit, sarana prasarana penunjang budidaya, serta perawatan ikan hias membuat pembudidaya harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit sehingga modal menjadi hal yang krusial.
Tingginya potensi besar budidaya ikan hias di wilayah Curug tersebut memperoleh dukungan penuh dari Kementerian Kelautan dan Perikanan. Melalui program Kampung Perikanan Budidaya, KKP akselerasi berbagai fasilitas bagi para pembudidaya, diantaranya pendampingan teknis budidaya, pengembangan usaha, serta akses permodalan melalui Lembaga Pengelola Modal Usaha Kelautan dan Perikanan (LPMUKP).